Rabu, 30 November 2011

Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan



Masyarakat adalah sekumpulan orang atau kelompok yang mendiami suatu wilayah dalam suatu  negara. Masyarakat adalah salah satu komponen penting dalam pembentukan sebuah negara. Masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan. Pembagian tersebut dikarenakan persebaran dan perkembangan wilayah kurang merata. Kali ini saya akan membandingkan antara Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan :

Masyarakat Perkotaan :
Masyarakat perkotaan biasa diebut dengan Masyarakat Urban. Masyarakat Urban mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.             1.  Masyarakat perkotaan mempunyai mobilitas yang tinggi.
  1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
  2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu. Di kota – kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan , sebab perbedaan kepentingan paham politik , perbedaan agama dan sebagainya .
  3. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan , menyebabkan bahwa interaksi – interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada factor kepentingan daripada factor pribadi.
  4. Pembagian kerja di antra warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata
  5. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa
  6. Interaksi yang terjai lebih banyak terjadi berdasarkan pada factor kepentingan daripaa factor pribadi
  7. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu
  8. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.
  9. Masyarakat bersifat instant dan  ingin sesgala sesuatu serba cepat.
  10. Sebagian masyarakat hidupnya Glamor atau mewah

Masyarakat Pedesaan :
Masyarakat pedesaan dapat dilihat dari tata cara kehidupan mereka sehari-hari dan Berperilaku serta tutur bicaranya. Masyarakat Pedesaan lebih condong taat kepadaa aturan Turun menurun dari nenek moyang mereka. Ciri-cirinya adalah :
  1. Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat  bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
  2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
  3. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
  4. Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian, agama, adapt istiadat, dan sebagainya
  5. Cenderung mematuhi Hukum adat yang berlaku
  6. Kehidupannya masih jauh dari Teknologi
  7. Pekerjaannya kebnyakan sebagi Petani,Pedagang dan Peternak

Hubungan desa dan kota
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena saling membutuhkan
Kota tergantung desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan, desa juga merupakan tenaga kasar pada jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota.
sebaliknya, kota menghasilkan barang-barang yg juga diperlukan oleh orang desa, kota juga menyediakan tenaga-tenaga yang melayani bidang-bidang jasa yg dibutuhkan oleh orang desa.

Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat




Pada zaman dahulu Agama Hindu di India mempunyai 4 pelapisan strata Sosial  dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
  • Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
  • Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
  • Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
  • Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.

Namun sekarang di Indonesia pelapisan tersebut sudah tidak berlaku lagi bagi umat Hindu. Semua orang sama tidak ada pelapisan sosial. Derajat manusia dimata Tuhan sama tidak ada ynag berbeda. Sesuai dengan ajaran Tat Twam Asi yaitu aku adalah kamu, kamu mereka dan dia adalah aku. Mungkin hanya sebagian orang saja di Indonesia masih menggunakan pelapisan sosial atau Kasta dalam hidupnya. Mereka merasa dirinya lebih dari pada orang lain dan menggangap derajatnya lebih tinggi dari pada orang lain. Hal ini dikarenakan Pekerjaan yang bagus, Mempunyai kehidupan yang mewah dan lain-lain. Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan Kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya.

Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya.

Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar pada rapat Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan



“Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman.”


Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna.

Menurut saya hal yang dikemukakan I Gusti Agung Gede Putera benar. Karena kasta didapatkan dari pekerjaan yang ia lakukan dan dari turun temurun. Kasta saat ini sudah tidak ada di indonesia. Derajat Manusia sama di mata Tuhan tak ada yang berbeda.